Cerpen


Kilau Berlian Keimanan dalam Rapuhnya  Zaman.



“Jah, bangun...udah mau subuh nih”, sergah lelaki bersahaja ini, Bapak Jaenudin.

“alhamdulillah...uuuuaaahhhhmmmm, udah mau subuh Pak?”, jawab Hamzah terlihat kaget

“iye, tadi sengaja kagak bapak bangunin, kelihatannye lu capek banget seharian kerja”, jawab si bapak sambil tersenyum. Hamzah membatin, “Allah, semoga Engkau Membalas segala kebaikannya”

“astaghfirullah, hari ini lewat tahajud saya. Kan biasanya saya juga kerja seharian Pak, hehe..tapi  iya pak, untuk yang ini saya teler banget. Tadi malam juga terpaksa lembur nyelesein tugas” jelas Hamzah,

“udah,...mending lu sekarang ambil wudhu’ noh, keburu adjan ntar...”, Hamzah menjawab singkat “iya pak, terima kasih”.

                Hamzah Taufiqurrahman, ia adalah sesosok yatim piatu. Lahir dan tumbuh di tengah hiruk pikuknya metropolitan. Lingkungan sekitarnya yang keras, mendidiknya untuk bersikap tegas, pemberani, dan disiplin. Selain itu, dahulu, walaupun dalam tekanan ekonomi yang teramat sangat menyayat hati, orang tuanya juga tak lupa mengajarkan kepadanya hakikat hidup, mengajarkannya tentang Tuhannya, yang dengan itu menempanya menjadi pribadi yang teduh, berkasih sayang. Saat ini, Hamzah dan adiknya Hamid menetap di sebuah rumah kecil peninggalan orang tuanya, menempel di pojok samping rumah Pak Jaenudin. Hamzah tengah melanjutkan pendidikannya di bangku Madrasah Aliyah, sedangkan Hamid Tsanawiyah. Ia selalu menganggap hidupnya beruntung, karena dalam kondisi yang susah penuh tekanan, masih ada orang seperti Pak Jaenudin yang mau membiayainya dan juga satu orang adiknya bersekolah. Ia dan adiknya hidup dari hasil kerja mereka sehari-hari, Hamzah biasa menyambi menjual koran sebelum ia berangkat sekolah, atau saat di jalan menuju ke sekolah, dan sorenya ia bersama adiknya berkeliling menawarkan jasa tambal dan semir sepatu.

“sedikit memang, tapi semoga ini adalah usaha baik yang halal dan toyib” batinnya.

                Usai wudhu’, ia mendapati adiknya sudah tidak berada di tikarnya dan sesaat setelah itu, adzan subuh berkumandang.

“ Allahu akbar, Allahu akbar, subhanallah, semoga Allah Menjenjangkan lehermu dan mengelokkan suaramu di antara kicauan burung di surga nanti mid, adikku”, raut senyum itu tergambar jelas di muka pemuda ini. Ternyata Hamid mendahuluinya subuh ini. Dan, dengan segera, ia yang telah ditunggu Pak Jaenudin berangkat ke masjid, menapakkan ketenangan di awal hari.

***

Rabu pagi, pukul 5, Hamzah sudah menyiapkan segala keperluan untuk pagi ini, cari rezeki pagi dan kemudian berangkat sekolah. Untuk hal mengais rezeki di waktu pagi, Hamzah memang sengaja tidak mengikutsertakan adiknya, tetapi Hamid seolah mengerti, di saat Hamzah merumput menjual koran, Hamid membantu pekerjaan yang bisa dibantu di rumah Pak Jaenudin sebelum ia berangkat sekolah. Sudah sangat membantu apa yang telah diberikan keluarga Pak Jaenudin selama ini, sejak mereka berdua kehilangan orang tuanya dan mereka menganggap sudah sepantasnyalah turut membantu keluarga Pak Jaenudin sebisa mungkin. Pak Jaenudin pernah mengatakan bahwa mereka tidak perlu repot-repot membantu, tetapi hal ini tidak pernah menghalangi mereka untuk tetap membantu.

Seperti biasa, jalanan kota Jakarta sudah mulai terlihat ramai, kebisingan mulai datang memekakkan telinga, asap mengepul, hawa memanas, sinar matahari pagi itu terlihat tak terlalu kuat menembus barikade polusi. Dengan pakaian dan slayer seadanya, Hamzah mulai mengayuh ontel tuanya, bersiap mencari uang untuk hari ini.

“Bismillah, Ya Allah...” gumam pemuda itu, dan ia mulai menawarkannya “Koran-koran...Pak, Bu, korannya?”

Seperti itulah kehidupan dua beradik itu memulai paginya, hingga pada waktunya, merekapun tiba di Madrasah.

Namun, untuk hari ini di tengah perjalanan, Hamzah melihat seorang remaja menggunakan seragam sekolah dengan kepala tertunduk dimaki oleh pria berpakaian rapi. Terlihat dari stelan yang digunakan dan juga mobil yang mungkin dikendarai oleh pria itu, ia adalah oknum pejabat pemerintahan. Diamatinya sesama dari kejauhan, apa yang tengah terjadi dan siapa itu remaja yang raut mukanya seperti ia kenal.

“oh, astaghfirullah, itu sahabat ngaji Hamid, Hasan! Kenapa dia?”, Hamzah heran membatin. Didekatinyalah kedua orang itu, kemudian Hamzah menyapa, “assalamu’alaykum, dik Hasan? Ada apa?”, tanya Hamzah

“wa’alaykumsalam, kagak kenape-nape kok bang, cu...”, belum selesai Hasan bicara, pria itu memotong.

“Oh, jadi ini adek lu? Hah?”, tanya pria itu dengan angkuh, “dia ini saudara saya pak, tepatnya temen ngajinya adik saya, ada masalah apa sehingga Bapak memaki dia?”, jawab Hamzah tenang.

“masalah apa! Eh, ajarin ya sama tu anak gimana jalan yang bener! Masa dia nghalangin jalan mobil gue!”, maki pria itu, “nghalangin gimana Pak?”, tanya Hamzah, “dia jalan di depan mobil gue begok!”, hujat si pria

“astaghfirullah, jadi itu masalahnya?”, Hamzah terkaget mendengar penjelasan si pria itu, “jadi itu masalahnya...eh, gue ini pejabat, seharusnya dia minggir dong”, nada pria itu semakin meninggi. Penduduk sekitar yang tadinya hanya menyaksikan dari jauh, kini mulai mendekat. Tak terkecuali abang-abang preman yang notabenenya kenal baik dengan Hamzah. Di daerahnya, Hamzah dan adiknya dikenal baik oleh warga termasuk para “manusia bebas” alias freeman (preman-pen-). Hamzah adalah sosok yang bisa melebur, sehingga tak heran saat perseteruan itu kian memanas, banyak di antara mereka yang datang mendekat.

“ade ape nih ribut-ribut? Ade ape jah?’, tanya salah seorang dari mereka, “salah paham..” jawab Hamzah yang langsung disela oleh si pria, “eh lu, jangan ikut campur deh!”, bentak pria itu.
“lu mau cari gara-gara di daerah gue hah?!”, bentak balik si preman, awalnya pria itu terlihat ingin kembali beradu mulut, tetapi ia menyadari bahwa ia sekarang berada di dalam sebuah kumpulan orang, “sabar jack!, ni urursan biar gue yang nyelesein”, relai Hamzah, “Pak, anda muslim?”, tanya Hamzah.

“ya!”, jawab orang itu, “Pak, bukankah Allah swt. tidak menyukai orang-orang yang sombong? Rasulullah saw. juga menasihatkan laa taghdhob..janganlah kita mudah terbawa emosi, marah, padahal hal itu sepele, Anda mengaku seorang muslim, tapi bagaimana implementasi Anda sebagai seorang muslim? Anda mengatakan Anda adalah pejabat yang ingin dihormati, lantas bagaimana Anda pantas dihormati, lah Andanya sendiri begitu? Jika hanya masalah seperti tadi, kan mudah, Anda tinggal membelokkan sedikit setir Anda, hal itu tidak akan membuat mobil Anda menabrak pembatas gang ini kan?”, urai Hamzah.

“ooh, jadi lu pejabat hah? Duuhhh...kiamat, kenape yang jadi pejabat orang kayak lu, penjahat! Dengerin tuh!”, makian salah seorang preman di antara perseteruan itu. Kalah medan, si pejabat ini terpaksa mendengarkan, tak sanggup bicara, terlebih memaki...

“masalah ini lucu, sepele..”, lanjut Hamzah, “sekarang gini, jika Anda tak ingin terlambat ke kantor, masalah ini kita selesaikan sekarang, saling memaafkan, atau jika Anda ingin memperkarakan masalah ini, silakan, jaminannya Anda takkan pernah lagi duduk di mobil berplat merah!”, untuk yang terakhir ini, Hamzah sedikit menekankan nadanya. Dan, dengan raut terpaksa si pejabat ini bermaafan dengan Hasan kemudian meluncur meninggalkan lokasi.

“alhamdulillah, lain kali hati-hati ya san”, “iye bang jah, makasih yak!”, setelah itu mereka berangkat beraktivitas kembali.

“Alhamdulillah, insyaallah ini rezeki ni hari, semoga berkah. Hmm,,,tapi ni koran masih ada 5, hmmm, biasanya Pak Sidik dan kawan-kawan mau beli”, Hamzah membatin.

Waktu mengantarkan Hamzah dan ontelnya ke Madrasah. Saat itu menunjukkan pukul 7 kurang 5 menit, perseteruan yang terjadi tadi benar-benar menyita waktunya, hampir saja ia telat. Setelah parkir dan sedikit berkemas, ia bersegera menuju kelas, berhubung pagi ini akan ada latihan dan pengumpulan tugas.

***

                Siang itu, jam terakhir pelajaran, seperti biasa, ruang kelas seperti pasar kaget. Riuh gemuruh suara siswa-siswa mengobrol, untuk kali ini memang riuhnya berbeda, lebih semarak alias sangat ramai, karena guru yang seharusnya mengisi mata pelajaran siang itu berhalangan hadir.

“masyaallah ni kelas riang amat sih, kalo di ukur intensitas bunyinyanya berapa desibel yak? Hehe..”, gurau salah seorang teman Hamzah. Hamzah cengar-cengir aja menanggapi gurauan itu, “yang paham sama Fisika...nanti ajarin gue ya?”

“ah elu jah! Sok merendah lu, belagak kagak paham, yeee...”, “Hamzah,,,lu kayak baru kenal aje, hhe..”, teman yang lain menanggapi.

                Kegaduhan itu terus berlangsung hingga seakan dikomando, gemuruh itu mereda, tiba-tiba menjadi sunyi, seakan ingin menyembunyikan sesuatu. Pada saat itu, ada guru yang masuk ke kelas.

“Hamzah Taufiqurrahman?”, tanya guru itu.

“saya..”, Hamzah mengacungkan jari.

“sekarang kamu ikut saya ke ruang kepala sekolah”, jawab sang guru datar.

“lah jah, lu ngapain lu, ampe dipanggil ke ruang kepsek segala?”, bisik seorang teman menanyakan dan dijawab senyum oleh Hamzah.

                Di ruang kepala sekolah..

“assalamu’alaykum, Pak, Bapak memanggil saya?”, tanya Hamzah yang langsung diperkenankan masuk oleh Bapak Kepala Sekolah, Bapak Ahmad.

“wa’alaykumsalam, iya, masuk...”, jawab Kepala Sekolah.

“terima kasih, hmmm...ada apa ya Pak?”, Hamzah bertanya.

“gini jah, hmmm....ada surat untuk kamu, hmmm, nih...”, jawab Pak Ahmad.

“surat Pak? Dari siapa?”, tanya Hamzah penasaran sambil mengeryitkan dahi.

“kamu buka aja sendiri, baca...bismillah”, jawab Pak Ahmad, “bismillah..”

                Terlihat raut muka yang antusias, membaca tiap kata di surat itu. Tiba-tiba, binar kebahagiaan seolah terbit dari ufuk kebaikan, kelopak itupun mulai terisi beningnya embun kesyukuran. Sontak Hamzah berkata “Allahu akbar, Pak, ini...? surat ini?”

“ya, itu surat balasan dari penerbit, karyamu tempo hari diterima nak, barakalloh..”, Kepala Sekolah memeluk Hamzah, yang kemudian sujud bersimpuh kepada-Nya. Ini adalah kali pertama karya sastranya yang dikirimkan lewat sekolah diterima oleh penerbit, adalah kesyukuran yang teramat sangat ia rasakan. Selama ini yang ia dapatkan adalah tidak adanya respon dari penerbit dan bahkan ada yang secara terang-terangan menolak.

“Allah, segala puji milik-Mu yang telah Merubah kesedihan menjadi kebahagiaan, Ayah, Bunda, akhirnya tiba waktunya bagiku untuk memikul keberhasilan ini”
Dan tak terasa, kelopak itu kini penuh terisi oleh beningnya embun hingga ia menetes, membasahi kegersangan.

Apakah kamu mengira bahwa kamu akan masuk surga, padahal belum datang kepadamu (cobaan) sebagaimana halnya orang-orang terdahulu sebelum kamu? Mereka ditimpa oleh malapetaka dan kesengsaraan, serta digoncangkan (dengan bermacam-macam cobaan) sehingga berkatalah Rasul dan orang-orang yang beriman bersamanya: "Bilakah datangnya pertolongan Allah?" Ingatlah, sesungguhnya pertolongan Allah itu amat dekat.” (Q.S Al Baqarah : 214)

-Ibnu Semi-